KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Manusia,Masyarakat dan Pendidikan”ini dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder
yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Pancasila.Tidak
lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen matakuliah Filsafat Pendidikan
atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan
mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai
Pancasila. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang
lebih baik.
Medan, Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Filsafat....................................................................................................4
2.2 Pengertian Filsafat Pancasila...................................................................................4
2.3
Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Manusia......................................................6
2.4
Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Msyarakat...................................................7
2.5
Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Pendidikan................................................10
2.6
Hubungan
Filsafat Pancasila dengan Manusia,Masyarakat dan Pendidikan.........12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila merupakan dasar negara yang dijadikan pedoman
dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan negara,berdasarkan hal itu
pancasila menjadi sumber hukum dari segala sumber hukum positif yang berlaku di
Indonesia.Kristalisasi nilai – nilai Pancasila digali dari kehidupan masyarakat
Indonesia yang menampung semua aliran dan paham hidup masyarakat
tersebut.Implementasi nilai Pancasila yang baik akan mengarah pada cita – cita
nasional karena itu,Pancasila menjadi sebuah sarana untuk dapat mengembangkan
bangsa sebagai sebuah falsafah hidup dan kepribadian bangsa yang mengandung
nilai,norma yang diyakini paling benar,tepat,adil,dan bijaksana bagi masyarakat
yang dijadikan pandangan hidup masyarakat.
Bangsa Indonesia memiliki falsafah Pancasila sebagai jiwa, kepribadian,
pandangan hidup dan dasar negara, Pancasila mengajarkan bahwa hidup manusia
akan mencapai kebahagiaan jika dapat dikembangkan keselarasan, keserasian dan
keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia
dengan masyarakatnya, dalam hubungan manusia dengan alamnya, hubungan manusia
dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagian
rohaniah.
Pancasila sebagai falsafah negara secara resmi sudah diterima sejak 18
Agustus 1945, dengan ditetapkannya UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
Sebagai hukum dasar yang tertinggi, Pancasila seharusnya dilaksanakan dalam
setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menjadi pembimbing kita
dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa. Apabila melaksanakannya dengan
baik dan benar akan dapat mengantarkan kita untuk sampai pada tujuan cita-cita
kemerdekaan bangsa, yang salah satu tujuannya adalah memajukan kesejahteraan
umum.
Dalam keadaan bangsa kita sedang menghadapi ancaman disintegrasi
seperti sekarang ini, bergunalah bagi kita untuk merenungkan kembali sejarah
penemuan dan perumusan Pancasila. Sasaran akhir dari renungan itu adalah
kesadaran kembali ke Pancasila. Untuk itu revitalisasi Pancasila merupakan
conditio sine quanon (syarat mutlak).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filasat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia :
philo/philos/philen yang artinya cinta/pencinta/mencintai. Jadi filsafat adalah
cinta akan kebijakan atau hakekat kebenaran. Berfilsafat artinya berfikir
sedalam-dalamnya (merenung) terhadap suatu metodik, sistematis, menyeluruh, dan
universal untuk mencari hakikat sesuatu.
Pengertian Filsafat menurut D.Runes:
Ilmu yang paling umum yang mengandung usaha untuk mencari kebijakan dan cinta
akan kebijakan. Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk,
filsafat sebagai pandangan hidup dan filsafat dalam arti praktis. Hal ini
berarti bahwa Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan
pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari
dan dalam kehidupan berbangsa, bernegara bagi warga Negara Indonesia dimanapun
mereka berada.
2.2 Pengertian
Filsafat Pancasila
Pancasila yang dibahas
secara filosofis disini adalah Pancasila yang butir-butirnya termuat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang tertulis dalam alinia ke empat.
Dijelaskan bahwa Negara Indonesia didasarkan atas Pancasila. Pernyataan
tersebut menegaskan hubungan yang erat antara eksistensi negara Indonesia
dengan Pancasila. Lahir, tumbuh dan berkembangnya negara Indonesia ditumpukan
pada Pancasila sebagai dasarnya. Secara filosofis ini dapat diinterpretasikan
sebagai pernyataan mengenai kedudukan Pancasila sebagai jati diri bangsa.
Melihat dari
beragamnya kebudayaan yang terdapat dalam bangsa Indonesia maka proses
kesinambungan dari kehidupan bangsa merupakan tantangan yang besar. Demi
perkembangan kebudayaan Indonesia selanjutnya dituntut adanya rumusan yang
jelas yang mampu berperan sebagai pemersatu bangsa sehingga ciri khas
bangsa Indonesia menjadi nyata.
Jadi, Pancasila
mengarahkan seluruh kehidupan bersama bangsa, pergaulannya dengan bangsa-bangsa
lain dan seluruh perkembangan bangsa Indonesia dari waktu kewaktu. Namun dengan
diangkatnya Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia tidak berati bahwa
Pancasila dengan nilai-nilai yang termuat didalamnya sudah terumus dengan
teliti dan jelas, juga tidak berarti pancasila telah merupakan kenyataan didalam
kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila adalah pernyataan tentang jati diri
bangsa Indonesia.
Pancasila
dikenal sebagai filosofi Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam
filsafat Pancasila telah diubah dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf
Indonesia. Pancasila dijadikan wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa
diperbarui sesuai dengan “permintaan” rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila
berbeda dari waktu ke waktu.
v Filsafat Pancasila Asli
Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato
Sukarno di BPUPKI dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di
Eropa, di mana filsafat barat merupakan salah satu materi kuliah mereka.
Pancasila terinspirasi konsep humanisme, rasionalisme, universalisme,
sosiodemokrasi, sosialisme Jerman, demokrasi parlementer, dan nasionalisme.
v Filsafat Pancasila versi Soekarno
Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Sukarno sejak 1955 sampai
berakhirnya kekuasaannya (1965). Pada saat itu Sukarno selalu menyatakan bahwa
Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi
Indonesia dan akulturasi budaya India (Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab
(Islam). Menurut Sukarno “Ketuhanan” adalah asli berasal dari Indonesia,
“Keadilan Soasial” terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno tidak pernah
menyinggung atau mempropagandakan “Persatuan”.
v Filsafat Pancasila versi Soeharto
Oleh Suharto filsafat Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf
yang disponsori Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti
interpretasinya dalam budaya Indonesia, sehingga menghasilkan “Pancasila truly
Indonesia”. Semua sila dalam Pancasila adalah asli Indonesia dan Pancasila
dijabarkan menjadi lebih rinci (butir-butir Pancasila). Filsuf Indonesia yang
bekerja dan mempromosikan bahwa filsafat Pancasila adalah truly Indonesia
antara lain Sunoto, R. Parmono, Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo,
Burhanuddin Salam, Bambang Daroeso, Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan,
Moertono, Soerjanto Poespowardojo, dan Moerdiono.
Berdasarkan penjelasan diatas maka pengertian filsafat Pancasila secara umum
adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia
yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma,
nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan
paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
Kalau dibedakan anatara filsafat yang religius dan non religius, maka filsafat
Pancasila tergolong filsafat yang religius. Ini berarti bahwa filsafat
Pancasila dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran
mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus
mengakui keterbatasan kemampuan manusia, termasuk kemampuan berpikirnya.
Dan kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti
praktis, filsafast Pancasila digolongkan dalam arti praktis. Ini berarti bahwa
filsafat Pancasila di dalam mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak
hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tidak sekedar untuk memenuhi
hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi juga dan
terutama hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan
sebagai pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup, way of the
life, Weltanschaung dan sebgainya) agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan
lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.
Selanjutnya filsafat Pancasila mengukur adanya kebenaran yang bermacam-macam
dan bertingkat-tingkat sebgai berikut:
1.
Kebenaran indra (pengetahuan biasa);
2.
Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu pengetahuan);
3.
Kebenaran filosofis (filsafat);
4.
Kebenaran religius (religi).
2.3
Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Manusia
Filsafat Pancasila sebagai olah berpikir yang dalam pengertian ini,
kita melibatkan diri dalam berpikir secara logik, sistematik, dan persistem,
mengenai subyek yang kita pelajari. Pancasila yang tertuang dalam pembukaan UUD
1945 adalah dalam kualifikasinya sebagai ideologi. Yang dimaksud dengan
“ideologi” adalah “seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenarannya,
dijadikan dasar menata masyarakat dalam menegara” Ideologi itu bersumber pada
filsafat tertentu. Ideologi Liberalisme bersumber pada Filsafat Individualisme.
Ideologi Komunisme bersumber pada Filsafat Materialisme. Pancasila sebagai ideologi bersumber pada Filsafat yang juga
dinamakan Filsafat Pancasila.
Hubungan hirarkhik antara ideologi dan filsafat ialah Ideologi adalah
jabaran langsung satu tingkat lebih rendah (next lower level) dari
filsafat. Ideologi Pancasila tersusun oleh lima buah sila yang rumusannya
pendek padat. Untuk memahami isi kandungan dari tiap sila, kita perlu
berwidyawisata ke Filsafat Pancasila. Dengan mengacu pada pengertian filsafat
seperti yang telah disebut di muka, kita menjadi tahu bahwa sila-sila dari
ideologi Pancasila itu masing-masing adalah jawaban hakiki dari pertanyaan
mendasar tertentu. Dengan mengetahui jawaban hakikinya yang berupa sila-sila
dari ideologi Pancasila, dan proses penalaran metafisik kita dapat
mengindentifikasi pertayaan mendasarnya.
Pandangan filsafat Pancasila mengenai “siapa manusia itu” terkandung di
dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. “Adil” itu menunjukkan pada
manusia sebagai makluk individu, dan “beradab” menunjukan pada manusia sebagai
makhluk sosial. Dalam sila inilah pandangan Pancasila tentang manusia terungkap
secara khas dan jelas, yakni : manusia adalah makhluk individu sekaligus
makhluk sosial, yang di dalamnya terkandung pengakuan adanya relasi
saling-tergantung antar manusia.
Kehidupan bersama
antar manusia yang saling tergantung itu bisa terselenggara dan bisa lestari
terselenggara, hanya apabila antaraksi antar manusia itu bersifat
saling-memberi.
Refleksi lanjutan
dari antaraksi saling-memberi ialah bahwa tugas hidup manusia adalah apriori
memberi kepada lingkungan, termasuk manusia lain. Untuk hidup, tiap fenomena
termasuk manusia, dari dalam dirinya sendiri merasa wajib memberi. Tujuan dari
memberi ialah demi terpeliharanya eksistensi yang diberi, lebih persis lagi :
demi obyek yang diberi, agar ia pada gilirannya selaku subyek mampu memberi
sesuatu kepada obyek yang lain lagi. Memberi demi kepentingan diri hakekatnya
adalah meminta.
Saling memberi
antar banyak subyek menghasilkan suatu seluruhan yang nilainya lebih besar dari
pada penjumlahan tiap berian dari tiap subyek. Dengan demikian, memberi sesuatu
itu tidak kehilangan sesuatu, karena tiap subyek berkat perbuatannya memberi,
dengan sendirinya mendapatkan berian kembali dari seluruhan yang lainnya lebih
tinggi dari apa yang ia berikan. Dua atau banyak subyek yang saling-tergantung
terpelihara eksistensinya oleh seluruhan yang dibangun sendiri oleh para
individu subyek melalui antaraksi saling-memberi.
2.4 Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Masyarakat
Pengertian dasar mengenai masyarakat ialah kebersamaan hidup antar dua
sampai banyak manusia. Masyarakat bisa ada hanya apabila antaraksi antar
individu warganya saling-memberi. Saling-memberi antar warga menghasilkan
kebersamaan hidup. Kebersamaan hidup merupakan kepentingan keseluruhan dari
tiap individu warganya. Kepentingan individu warga terpenuhi oleh kepentingan
seluruhan masyarakat. Kondisi kebersamaan hidup yang demikian itu dapat di
angkat menjadi definisi: masyarakat adalah kebersamaan hidup antar sejumlah
orang yang terselenggara melalui antaraksi saling memberi.
Dalam pengertian
ini, individu warga memandang masyarakat bukan sebagai lembaga yang secara
hirarki berada di atas dirinya. Masyarakat adalah diri individu manusia itu
sendiri yang secara alami terkait dengan manusia lainnya, yang melalui
interaksi saling memberi membentuk kebersamaan hidup yang dinamai masyarakat.
Oleh karena itu dalam menjalankan tugas bagi masyarakat, individu warga tidak
merasakannya sebagai beban atau merasa berkorban. Sebaliknya masyarakat tidak
pernah menganggap individu warganya sebagai makhluk yang berada diluar dirinya,
melainkan sebagai sumber genetik dari dirinya sendiri. Oleh karena itu,
masyarakat tidak pernah mempunyai kepentingan sendiri yang berhadapan dengan
kepentingan individu warganya. Satu-satunya kepentingan adalah kepentingan dari
keseluruhan individu warganya. Oleh karena itu, secara alami antara individu
warga dan masyarakat tidak pernah terdapat pertentangan kepentingan.
Pancasila Sebagai
Ideologi Modern. Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, secara tegas menguraikan bahwa
Pancasila telah digali dan didasari oleh evolusi budaya bangsa selama
berabad-abad. Kemudian Bung Karno menyusunnya secara ilmiah rasional sehingga
terlihat betapa Pancasila mengandung nilai-nilai universal. Itulah sebabnya
mengapa Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi modern. Suatu ideologi
dikatakan modern bila mengandung nilai-nilai universal dan dapat menjawab
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat dalam demensi waktu yang berbeda.
Berbeda dengan Pancasila, nilai-nilai yang terdapat pada komunisme tidak
universal dan lebih bersifat konfrontatif dengan mempertentangkan kelas di
dalam masyarakat dan lebih menguntungkan kelas tertentu dalam masyarakat itu.
Ideologi Pancasila
itu, meskipun secara historik berkategori ideologi partikuler, yaitu
sebagai dasar dari negara Indonesia merdeka, muatan moral dan cita-citanya
adalah universal.
Ideologi Pancasila
itu, meskipun muatan moral dan cita-citanya bersifat universal, sifat hakikat
universalnya justeru memposisikan Negara Indonesia Merdeka sebagai salah satu
dari pluralitas alami di antara semua negara merdeka lainnya di dunia. Tiap
bangsa yang memproklamasikan berdirinya negara barunya, membutuhkan pengakuan
dari negara lain. Pengakuan tiap negara terhadap kemerdekaan negara lain,
selain bersifat sebagai pengakuan politik, juga mengandung pengakuan bahwa
negara lain itu berkualifikasi positif terhadap eksistensi dirinya, atau
terpaksa mengakui sebagai kebijakan politik demi memperkecil dampak negatif
terhadap eksistensi dirinya. Pengakuan negara yang satu terhadap kemerdekaan
negara yang lain, atas pertimbangan yang manapun dari dua pertimbangan
termaksud, berpasangan dengan kebutuhan negara baru akan pengakuan dari negara
lain, menunjukan adanya relasi saling-tergantungan antarnegara.
Ideologi Pancasila
secara ontologik mengakui realitas alami tentang saling-ketergantungan antar
pluralitas. Berdasarkan itu, dalam dimensi antar bangsa in casu antar
negara, moral dan cita-cita universal yang terkandung di dalam ideologi
Pancasila mengungkapkan diri sebagai fungsi-negara keempat dari Republik
Indonesia ”ikut menegakkan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial” seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD
1945.
Faham Ketertiban
Dunia ini menurut penggagasnya Ir. Sukarno, pada waktu memaparkan filosofische
grondstag yang ia usulkan untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia
Merdeka, ia lukiskan sebagai berikut ini : ”Nasionalisme bisa hidup hanya
apabila ia berada dalam tamansarinya internasionalisme, dan Internasionalisme
bisa hidup hanya apabila ia berakar dalam buminya nasionalisme.
Peryataan Ir.
Sukarno tersebut merupakan peryataan pengakuan saling-ketergantungan eksistensi
antar nasionalisme dan internasionalisme, dalam rangka Ir. Sukarno mencegah
jangan sampai bangsa (nasionalisme) Indonesia dalam menyelenggarakan negara
Indonesia Merdeka bersikap chauvinis seperti nasionalismenya bangsa
Jerman dengan sasantinya ’Deutschland uber alles’.
Dengan ungkapan
lain peryataan tersebut merupakan peryataan pengakuan saling-tergantungan
antarbangsa dan antarnegara jawaban satu-satunya terhadap kondisi alami ini
adalah kerja sama saling-memberi sesuatu sesuai kemampuan tiap bangsa demi
terwujudnya Ketertiban Dunia, yang satu pihak mengakui pluralitas yang berwujud
kemerdekaan tiap bangsa dalam wujud negara-bangsa (nation state), di
lain pihak karena antarbangsa secara alami saling-tergantung interaksinya yang
niscaya dan memadai demi terpeliharanya eksistensi tiap bangsa yang
bersangkutan, adalah saling memberi yang diproyeksikan untuk menghasilkan
keadilan sosial antarbangsa, dan demikian perdamaian antarbangsa terjaga
berlangsungnya, perdamaian antarbangsa itu benar-benar abadi.
Sesungguhnya
konsep demokrasi dan HAM telah tertanam lama dalam kehidupan bangsa dan rakyat
Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila mengambarkan betapa nilai-nilai universal
telah terakomodasi di dalamnya yang meliputi kebangsaan Indonesia,
internasionalisme atau perikemanusiaan, mupakat atau demokrasi, kesejahteraan
sosial, dan Ketuhanan. Rumusan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945
memberikan sifat yang khas pada negara Indonesia. Bahwa Indonesia bukan negara
sekuler yang memisahkan agama dan negara, tetapi juga bukan negara agama yang
berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap
warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dalam negara Pancasila, agama dan
nasionalisme hidup dan berkembang di dukung oleh negara. Negara Pancasila
menyatukan beragama kelompok yang bertentangan.
Dalam negara
Pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan
negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara
dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional
seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah
laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Prinsif
yang perlu dikembangkan adalah peduli, tetapi tidak diskriminatif, bukan dalam
artian tidak peduli sama sekali.
Sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab, pada intinya menegaskan persamaan hak dan
kewajiban setiap orang secara gamplang mengandung penjelasan konsep HAM yang
digembor-gemborkan dunia Barat. Sementara sila keempat Pancasila, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
secara tegas menjelaskan konsep demokrasi. Tetapi, demokrasi yang dimaksud di
sini adalah demokrasi Pancasila yang berlandaskan musyawarah dan mufakat, bukan
ala Barat yang menekankan keunggulan mayoritas atas minoritas. Sila keempat
menjabarkan bahwa demokrasi Pancasila bukan berlandaskan kerakyatan dengan
mencari suara terbanyak saja. Asas kerakyatan berhubungan erat dengan konsep
HAM tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran seperti
yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28. Di samping itu, asas kerakyatan juga
berhubungan dengan persamaan kedudukan sosial, ekonomi, dan budaya di antara
warga negara.
2.5
Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Pendidikan
Pendidikan
merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh
instinknya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan
menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima
pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan
berkeluarga mereka akan mendidik anak-anaknya, begitu juga di sekolah dan
perguruan tinggi, para siswa dan
mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata
yang dapat menjalankan tiga fungi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi
muda untuk untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua,
mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga,
mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.
Butir kedua dan ketiga tersebut memberikan pengerian bahwa pandidikan bukan
hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Dengan
demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi umat manusia.
Landasan Pendidikan marupakan salah
satu kajian yang dikembangkan dalam berkaitannya dengan dunia pendidikan.
Adapun cakupan landasan pendidikan adalah : landasan hukum, landasan filsafat,
landasan sejarah, landasan sosial budaya, landasan psikologi, dan landasan
ekonomi. Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang
sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu dapat berarti terbatas dan dapat pula
berarti tidak terbatas. filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini
yang sering dikatakan filsafat umum. sementara itu filsafat yang terbatas ialah
filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Jadi berfikir filsafat dalam
pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan.
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada
pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab
oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu.
Misalnya:
·
Apakah yang dimaksud dengan
pengetahuan dan/atau ilmu?
·
Dapatkah kita bergerak ke kiri dan
kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu?
Kegiatan
pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata
mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia,
lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum
tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa
ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan
hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
Bangsa Indonesia memiliki filsafat
umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai falsafah Negara, Pancasila
patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada
segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan
Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian
selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989,
yang menegaskan bahwa pembangunan nasioanal termasuk dibidang pendidikan adalah
pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara
lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang
tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI
No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula
bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa
Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia,dan dasar Negara Republik
Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa
manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang
menjadi pangkal serta mauara dari setiap keputusan dan tindakan dalam
pendidikan dengan kata lain : Pancasila sebagai sumber system nilai dalam
pendidikan.
P4 Atau Ekaprasetya Pancakarsa
sebagai petunjuk operasional pengamalan pancasila dalam kehidupan
sehari-hari,termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan
Pancasila ituharuslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam
pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia,Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan dan
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Belum ada upaya mengopersionalkan
Pancasila agar mudah diterapkan dalam kegiatan –kegiatan di masyarakat,termasuk
penerapanya dalam dunia pendidikan Kalaupun ada bidang studi menyangkut moral
Pancasila, sebagan besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-bidang studi
lain. Pendidik mengajarkannya,peserta didik berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan pendidik dalam ujian-ujian.
Sementara itu dunia pendidikan di
Indonesia belum punya konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan
kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian dan cara –cara
mencapai tujuan pendidikan.Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor
dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia.
Teori-teori biasa didapat dengan
cara belajar diluar negeri, atau dengan cara melakukan studi banding. Dan yang
paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari
Negara lain. Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha
menyususn sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari
buku-buku ini. Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan
dalam penataran-penataran pendidikan juga bersumber dari buku-buku. Dengan
demikian dapat diibaratkan membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan
seperti menerpa patung dengan cetakan luar negeri.hasilnya tentu tidak présis
seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di
Indonesia.
2.6 Hubungan Filsafat Pancasila dengan
Manusia,Masyarakat dan Pendidikan
Meskipun sering
ada anggapan bahwa Pancasila tidak mampu menyelesaikan atau membuat suatu aturan yang betul-betul
mengikat kepada penganutnya (rakyat Indonesia). Pancasila sesungguhnya hanya
mampu menuliskan peraturan yang baik, namun tidak punya ruh atau power untuk
mengikat penganutnya sehingga dapat melakukan segala tindakan sesuai dengan apa
yang tercantum dalam pancasila. Dengan kata lain,“pancasila adalah ideologi
yang dipaksakan”.Penganutnya tidak memiliki landasan dan alasan yang
kuatmengapa mereka harus menaati aturan yang terlahir dari pancasila,meskipun
peraturan yang terlahir sebenarnya searah dengan perjuangan menyejetahterahkan
rakyat (dengan amandemen 4x hingga tahun 2002).Hal ini terbukti dengan
banyaknya korupsi untuk aliran dana BOS dan pendidikan
lainnya. Dan, ini dibuat oleh pemerintah sendiri. Kesalahan pendidikan terletak
pada sistem atau mekanismenya yang menganut sistem kapitalisme. Pendidikan
Indonesia dibumbui dengan kecurangan/nepotisme, dan uang. Penyebab yang paling
berpengaruh pada anak yang putus sekolah adalah karena ketidakmampuan mereka
dalam hal finansial. Padahal uu telah menjamin bahwa pendidikan dan pekerjaan adalah
hak setiap warga negaranya. Ini menunjukkan bahwa antara aturan yang tertulis
dan fakta yang ada sungguh berlawanan.
Namun dengan berbagai anggapan
diatas jika melihat dari sisi lain maka akan ditemukan adanya hubungan yang cukup
kuat antara manusia yang merupakan makhluk yang unik. Manusia memiliki
berbagai dimensi dasar, baik secara pribadi, jiwa, kelompok, dll. Semua itu
bercampur aduk menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau tidak,
manusia telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maximal atau tidak,
dengan baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Kaitanya dengan hal tersebut, dengan akal manusia yang bisa dikatakan jenius, manusia dapat menemukan
jalan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik. Yaitu dengan
pendidikan. Manusia mulai sadar akan arti penting pendidikan bagi kehidupan
mereka.
Dalam sub bab ini, penulis mencoba mencari keterkaitan antara pendidikan
dengan manusia. Atau, apakah arti penting pemahaman tentang hakekat manusia
tadi terhadap proses pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar, terencana, sistematis dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi-potensi bawaan manusia, memberi sifat dan
kecakapan, sesuai dengan tujuan
pendidikan.
Pendidikan adalah
bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk mencapai suatu tujuan.Melihat
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan pendidikan dengan manusia
itu sangat erat. Adanya pendidikan untuk mengembangkan potensi manusia, menuju
manusia yang lebih baik.
Berbicara tentang
pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup dan kehidupan manusia.
Sebaliknya, berbicara tentang kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan
masalah kependidikan.Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas.
Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin
menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.
Manusia merupakan
subyek pendidikan, tetapi juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri.
Pendidikan tanpa ilmu jiwa, sama dengan praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa
mengerti manusia, berarti membina sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana,
dan mengapa manusia dididik. Tanpa mengerti atas manusia, baik sifat-sifat
individualitasnya yang unik, maupun potensi-potensi yang justru akan dibina,
pendidikan akan salah arah. Bahkan tanpa pengertian yang baik, pendidikan akan
memperkosa kodrat manusia.
Esensia kepribadian
manusia, yang tersimpul dalam aspek-aspek: individualitas, sosialitas dan
moralitas hanya mungkin menjadi relita (tingkah laku, sikap) melalui pendidikan
yang diarahkan kepada masing-masing esensia itu. Harga diri, kepercayaan pada
diri sendiri (self-respect, self-reliance, self confidence) rasa tanggung
jawab, dan sebagainya juga akan tumbuh dalam kepribadian manusia melalui proses
pendidikan.
Jadi, hubungan antara
filsafat, pendidikan dan manusia secara singkat adalah filsafat digunakan untuk
mencari hakekat manusia, sehingga diketahui apa saja yang ada dalam diri manusia.
Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan
dijadikannya (potensi) nyata berdasarkan esensi keberadaan manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai filsafat Negara
maka patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada
segala bidang.Pancasila harus dipahami dengan menggunakan penalaran rasional
akal budi manusia. Pancasila juga harus dipahami dengan pendekatan kritis,
yakni tidak mudah percaya dengan klaim-klaim luhur ataupun praktek-praktek naif
yang mengatas namakan Pancasila. Tafsiran atas nilai-nilai Pancasila pun harus
runut dan taat asas, sesuai dengan maksud dan tujuan adanya Pancasila itu
sendiri. Seperti segala sesuatu di bawah langit, Pancasila, dan tafsiran
atasnya, pun juga harus kontekstual, yakni sesuai dengan perkembangan jaman.
Maka, nilai fleksibilitas, dalam tegangan dengan keteguhan prinsip-prinsip
dasar harus digunakan.