Moral


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Globalisasi telah menimbulkan pengaruh yang sangat luas dalam dimensi masyarakat. Malcolm Waters mengatakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi yaitu globalisasi ekonomi, politik, dan budaya. Globalisasi yang merupakan universalisasi nilai-nilai menyebabkan kearifan lokal menjadi luntur.
Hal ini menyangkut dengan moral bangsa yang akan terpengaruh dengan moral luar, tentunya akan lebih kuat mempengaruhi karena dalam globalisasi negara-negara majulah yang akan menguasai. Mahasiswa adalah sosok warga negara yang memiliki tanggung jawab penuh, akan dibawa ke mana negeri ini untuk berlari. Apakah menuju kebangkitan yang saat ini begitu santer digalakkan atau justru menuju keterpurukan. Analisis dari kebangkitan dan keterpurukan di masa depan, berkaitan erat dengan kondisi agent of change saat ini. Agent of change yang dimaksud adalah para mahasiswa.
Moralitas mahasiswa merupakan unsur penting dalam proses, sejauh mana mahasiswa berperan pada pembangunan untuk menyambut kebangkitan. Moralitas dalam kajian ini tidak hanya berkaitan dengan salah satu nilai religi saja, melainkan secara umum.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah “moralitas” dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Apa sebenarnya pengertian moral itu?
  2. Apa yang menjadi dasar dan sumber perbuatan baik (moral) menurut beberapa agama?
  3. Apa yang isu moralitas masyarakat Indonesia?
1.3.    Tujuan Penulisan
Dapat menjadi suatu bekal bagi para pendidik untuk menghadapi masalah dalam pendidikan. Mahasiswa agar dapat memahami secara menyeluruh mengenai moral.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Moral Secara Umum
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari Bahasa Latin yaitu Moralitas adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moral artinya (1) ajaran tentang baik buruk yang di terima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak, budi pekerti , susila; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin.
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Menurut Immanuel Kant, moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaannya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Adapun pengertian moral dalam kamus filsafat dapat dijabarkan sebagai berikut:
Ø  Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dipandang baik atau buruk, benar atau salah, tepat atau tidak tepat.
Ø  Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima, menyangkut apa yang dianggap benar, baik, adil dan pantas.
Memiliki:
Ø  Kemampuan untuk diarahkan oleh (dipengaruhi oleh) keinsyafan benar atau salah.
Ø  Kemampuan untuk mengarahkan (mempengaruhi) orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku nilai benar dan salah.
Ø  Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam berhubungan dengan orang lain.

2.2. Dasar Dan Sumber Perbutan Baik (Moral)
Masing-masing masyarakat mengajarkan perbuatan baik. Tetapi setiap masyarakat memiliki sumber dan dasar yang berbeda-beda dalam menentukan suatu sikap yang dianggap “baik”. Di bawah ini akan dipaparkan sumber perbuatan baik dari setiap masyarakat.
  1. Agama-agama Suku
Pada masing-masing suku kuno ada tata tertib yang mengatur keseluruhan perjalanan hidup alam semesta. Bagi masyarakat batak tata tertib itu disebut adat. Menurut Lothar, adat adalah pertama-tama sesuatu ysng berulang-ulang terjadi atau yang teratur datang kembali.
Bagi masyarakat suku adat merupakan tata tertib kosmik yang berasal dari nenek moyang, dan yang sekaligus juga dipercayai dari illah atau dewa. Oleh karena itu juga dipercayai sebagai sumber pengetahuan untuk membedakan yang baik dari yang jahat.
Adapun tugas manusia terhadap adat antara lain :
Pertama, untuk selalu menyelaraskan jalan hidup dengan tata tertib kosmis atau adat yang berlaku. Kehidupan yang dimaksud mulai dari : kelahiran-perkawinan-tabur-tuai dan kematian.
Kedua, manusia harus selalu berpedoman pada adat istiadat, agar tata tertib kosmis jangan sampai tersinggung.
Ketiga, tidak boleh melanggar larangan-larangan yang bersifat tabu yang sudah ditetapkan, karena tabu itulah yang melindungi seluruh kehidupan, baik manusia dan segala makhluk. Setiap pelanggaran terhadap peraturan kosmis ini akan menyebabkan hal-hal berikut :
Ø  Kemarahan dewa-dewi yang mengakibatkankan kurangnya berkat.
Ø  Kemandulan dan ketidakmampuan melahirkan keturunan.
Ø  Rusaknya sumber-sumber hidup.
Karena moral ditentukan oleh peraturan kosmis yang disebut dengan adat, tradisi dan kebiasaan yang diterima secara turun temurun, dapat kita bayangkan kenapa begitu kaku, ketat dan terikatnya masyarakat suku terhadap peraturan ini.

  1. Dalam Dunia Filsafat
Perkembangan dunia filsafat ditandai  muculnya ahli-ahli filsafat kuno. Mereka ini sokoguru dalam seluruh perkembangan filsafat hingga ke zaman modern. Mereka adalah : Sokrates, Plato, dan Aristoteles.
a.       Sokrates
Menurut Sokrates, etika atau moral adalah bertitik tolak dari kebaikan. Kebaikan adalah kebaikan dan pengenalan akan kebaikan. Orang yang baik adalah orang yang mengetahui kebaikan serta mau menyelaraskan hidupnya dengan kebaikan itu.
b.      Plato
Gagasan dan pemikiran Sokrates diteruskan dan dikembangkan oleh muridnya Plato. Itu sebabnya begitu kental antara pengajaran Plato dengan gagasan gurunya Sokrates. Menurut Plato, kebaikan arus bertitik tolak dari adanya pengenalan dan pengetahuan akan yang baik. Plato mengajarkan bahwa kebaikan mengandung dari 3 unsur, yaitu :
1.      Yang menyenangkan
2.      Yang berguna
3.      Yang indah
Disamping itu Plato juga mengajarkan bahwa didalam diri setiap manusia selalu ada 3 unsur yang paling penting, yakni :
  1. Ratio : unsur yang selalu diutamakan dan menjadi kunci pemahaman tentang kebaikan.
  2. Emosi tinggi : keberanian yang tinggi
  3. Emosi rendah : ketakutan, rasa malu, hawa nafsu.
c.       Aristoteles
Dalam etika Aristoteles diuraikan teori tentang hal-hal yang bernilai. Bagi Aristoteles segala seuatu mempunyai nilai (value). Yang dimaksud dengan sebutan segala sesuatu disini adalah semuanya baik yang baik maupun yang jelek, yang buruk, keuntungan, kerugian, kehidupan atau kematian, dll. Dalam pendirian Aristoteles terdapat pendirian yang bersifat relatif dan tidak ada kepastian terhadap ukuran-ukuran kebaikan. Dia mempergunakan istilah diantara. Sehingga kebaikan menurut Aristoteles adalah pertengahan diantara dua sifat yang bertentangan.
  1. Menurut Agama Kristen
Perbuatan baik yang dilakukan oleh orang Kristen lahir sebagai buah iman, kepercayaan, dan pembenaran oleh Kristus Yesus. Orang kristen yang sudah menerima keselamatan dari Yesus Kristus akan otomatis berbuat baik tetapi hal itu bukan menumpuk amal atau pahala agar memperoleh keselamatn. Sebaliknya, karena ia sudah diselamatkan, maka ia harus berbuat baik.
Ada dua hal yang yang sangat prinsipil :
Pertama, karena dasar moralitas kristen adalah kasih. Kalau kita berbuat baik, kita harus terlebih dahulu percaya Firman Allah yang tertulis di dalam Alkitab. Semua perbuatan baik kita harus atas kehendak Allah sebagaimana tertulis dalam kitab suci.
Kedua,  selain dasar kasih, manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah. Keseragaman dan kesegambaran manusia dengan Allah inilah yang menjadikan manusia berbuat baik, meniru Tuhan yang menciptakannya berhahekat demikian. Dengan mengikuti teladan Yesus Kristus, maka perbuatan baiknya orang Kristen harus semakin sempurna sebagaimana diajarkan Kristus (Mat. 5:48)
Disinilah hubungan yang erat antara etika dan moralitas dengan iman kristen. Perbuatan baik, etika, atau moral harus muncul dan lahir dari iman kepercayaan seseorang. Moralitas yang baik lahir dari iman yang baik.
2.3. Berbagai Isu Moralitas Sosial Yang Relevan Dengan Masyarakat Indonesia.
Budaya global yang dibangun dengan kemajuan dibidang ilmu, pengetahuan, teknologi khususnya teknologi media informasi telah membawa berbagai perubahan, terutama perubahan tata nilai dalam kehidupan manusia. Perubahan tata nilai ini beraspek ganda, pada satu sisi membawa kemajuan yang konstruktif, tetapi pada sisi lain membawa ragam-ragam kerusakan (destruksi) terhadap moral manusia.
Bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis multidimensional di bidang : ekonomi, politik, keamanan, budaya, agama, lingkungan hidup, dan lain sebagainya, sedang dihadapkan dengan krisis etika dan moralitas bangsa.  Beberapa jenis krisi yang terjadi antara lain :
Ø   Penyalahgunaan Narkoba dan Obat-obat terlarang
Ø   Free-Sex (Sek Bebas)
Ø   Hidup Porno
Ø   Tawuran dan tindakan kekerasan
Ø   KKN-sisip-suap-sogok
Ø   Konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Kelompok)
Ø   Kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi.



BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa moral berasal dari Bahasa Latin yaitu Moralitas adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
3.2. Saran
Dalam hal-hal di atas yang telah penulis paparkan tentang moralitas, tiap-tiap orang harus dapat melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak. Setiap manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing, dan setiap moral dan moralitas masing-masing orang harus dapat di buktikan ditiap-tiap kehidupan setiap manusia, agar manusia juga dapat memiliki pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Filsafat pancasila



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Manusia,Masyarakat dan Pendidikanini dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Pancasila.Tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen matakuliah Filsafat Pendidikan atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Pancasila. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
                                                                                 Medan,   Oktober 2012

Penulis










DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
            2.1 Pengertian Filsafat....................................................................................................4
            2.2  Pengertian Filsafat Pancasila...................................................................................4
            2.3 Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Manusia......................................................6
            2.4 Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Msyarakat...................................................7
            2.5 Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Pendidikan................................................10
            2.6 Hubungan Filsafat Pancasila dengan Manusia,Masyarakat dan Pendidikan.........12
BAB III PENUTUP
            3.1 Kesimpulan.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13







BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila merupakan dasar negara yang dijadikan pedoman dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan negara,berdasarkan hal itu pancasila menjadi sumber hukum dari segala sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia.Kristalisasi nilai – nilai Pancasila digali dari kehidupan masyarakat Indonesia yang menampung semua aliran dan paham hidup masyarakat tersebut.Implementasi nilai Pancasila yang baik akan mengarah pada cita – cita nasional karena itu,Pancasila menjadi sebuah sarana untuk dapat mengembangkan bangsa sebagai sebuah falsafah hidup dan kepribadian bangsa yang mengandung nilai,norma yang diyakini paling benar,tepat,adil,dan bijaksana bagi masyarakat yang dijadikan pandangan hidup masyarakat.
Bangsa Indonesia memiliki falsafah Pancasila sebagai jiwa, kepribadian, pandangan hidup dan dasar negara, Pancasila mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan jika dapat dikembangkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakatnya, dalam hubungan manusia dengan alamnya, hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagian rohaniah.
Pancasila sebagai falsafah negara secara resmi sudah diterima sejak 18 Agustus 1945, dengan ditetapkannya UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Sebagai hukum dasar yang tertinggi, Pancasila seharusnya dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menjadi pembimbing kita dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa. Apabila melaksanakannya dengan baik dan benar akan dapat mengantarkan kita untuk sampai pada tujuan cita-cita kemerdekaan bangsa, yang salah satu tujuannya adalah memajukan kesejahteraan umum.
Dalam keadaan bangsa kita sedang menghadapi ancaman disintegrasi seperti sekarang ini, bergunalah bagi kita untuk merenungkan kembali sejarah penemuan dan perumusan Pancasila. Sasaran akhir dari renungan itu adalah kesadaran kembali ke Pancasila. Untuk itu revitalisasi Pancasila merupakan conditio sine quanon (syarat mutlak).





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filasat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia : philo/philos/philen yang artinya cinta/pencinta/mencintai. Jadi filsafat adalah cinta akan kebijakan atau hakekat kebenaran. Berfilsafat artinya berfikir sedalam-dalamnya (merenung) terhadap suatu metodik, sistematis, menyeluruh, dan universal untuk mencari hakikat sesuatu.
Pengertian Filsafat menurut  D.Runes:
Ilmu yang paling umum yang mengandung usaha untuk mencari kebijakan dan cinta akan kebijakan. Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, filsafat sebagai pandangan hidup dan filsafat dalam arti praktis. Hal ini berarti bahwa Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan berbangsa, bernegara bagi warga Negara Indonesia dimanapun mereka berada.
2.2  Pengertian Filsafat Pancasila
Pancasila yang dibahas secara filosofis disini adalah Pancasila yang butir-butirnya termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang tertulis dalam alinia ke empat. Dijelaskan bahwa Negara Indonesia didasarkan atas Pancasila. Pernyataan tersebut menegaskan hubungan yang erat antara eksistensi negara Indonesia dengan Pancasila. Lahir, tumbuh dan berkembangnya negara Indonesia ditumpukan pada Pancasila sebagai dasarnya. Secara filosofis ini dapat diinterpretasikan sebagai pernyataan mengenai kedudukan Pancasila sebagai jati diri bangsa.
Melihat dari beragamnya  kebudayaan yang terdapat dalam bangsa Indonesia maka proses kesinambungan dari kehidupan bangsa merupakan tantangan yang besar. Demi perkembangan kebudayaan Indonesia selanjutnya dituntut adanya rumusan yang jelas yang mampu  berperan sebagai pemersatu bangsa sehingga ciri khas bangsa Indonesia menjadi nyata.
Jadi, Pancasila mengarahkan seluruh kehidupan bersama bangsa, pergaulannya dengan bangsa-bangsa lain dan seluruh perkembangan bangsa Indonesia dari waktu kewaktu. Namun dengan diangkatnya Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia tidak berati bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang termuat didalamnya sudah terumus dengan teliti dan jelas, juga tidak berarti pancasila telah merupakan kenyataan didalam kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila adalah pernyataan tentang jati diri bangsa Indonesia.

                   Pancasila dikenal sebagai filosofi Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam filsafat Pancasila telah diubah dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf Indonesia. Pancasila dijadikan wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa diperbarui sesuai dengan “permintaan” rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila berbeda dari waktu ke waktu.
v  Filsafat Pancasila Asli
                   Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato Sukarno di BPUPKI dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di Eropa, di mana filsafat barat merupakan salah satu materi kuliah mereka. Pancasila terinspirasi konsep humanisme, rasionalisme, universalisme, sosiodemokrasi, sosialisme Jerman, demokrasi parlementer, dan nasionalisme.
v  Filsafat Pancasila versi Soekarno
                   Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Sukarno sejak 1955 sampai berakhirnya kekuasaannya (1965). Pada saat itu Sukarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India (Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Menurut Sukarno “Ketuhanan” adalah asli berasal dari Indonesia, “Keadilan Soasial” terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno tidak pernah menyinggung atau mempropagandakan “Persatuan”.
v  Filsafat Pancasila versi Soeharto
                   Oleh Suharto filsafat Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf yang disponsori Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam budaya Indonesia, sehingga menghasilkan “Pancasila truly Indonesia”. Semua sila dalam Pancasila adalah asli Indonesia dan Pancasila dijabarkan menjadi lebih rinci (butir-butir Pancasila). Filsuf Indonesia yang bekerja dan mempromosikan bahwa filsafat Pancasila adalah truly Indonesia antara lain Sunoto, R. Parmono, Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo, Burhanuddin Salam, Bambang Daroeso, Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan, Moertono, Soerjanto Poespowardojo, dan Moerdiono.
                   Berdasarkan penjelasan diatas maka pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
                   Kalau dibedakan anatara filsafat yang religius dan non religius, maka filsafat Pancasila tergolong filsafat yang religius. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan manusia, termasuk kemampuan berpikirnya.
                   Dan kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis, filsafast Pancasila digolongkan dalam arti praktis. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila di dalam mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tidak sekedar untuk memenuhi hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi juga dan terutama hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup, way of the life, Weltanschaung dan sebgainya) agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.
                   Selanjutnya filsafat Pancasila mengukur adanya kebenaran yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat sebgai berikut:
1.      Kebenaran indra (pengetahuan biasa);
2.      Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu pengetahuan);
3.      Kebenaran filosofis (filsafat);
4.      Kebenaran religius (religi).
2.3 Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Manusia
Filsafat Pancasila sebagai olah berpikir yang dalam pengertian ini, kita melibatkan diri dalam berpikir secara logik, sistematik, dan persistem, mengenai subyek yang kita pelajari. Pancasila yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah dalam kualifikasinya sebagai ideologi. Yang dimaksud dengan “ideologi” adalah “seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenarannya, dijadikan dasar menata masyarakat dalam menegara” Ideologi itu bersumber pada filsafat tertentu. Ideologi Liberalisme bersumber pada Filsafat Individualisme. Ideologi Komunisme bersumber pada Filsafat Materialisme. Pancasila sebagai  ideologi bersumber pada Filsafat yang juga dinamakan Filsafat Pancasila.
Hubungan hirarkhik antara ideologi dan filsafat ialah Ideologi adalah jabaran langsung satu tingkat lebih rendah (next lower level) dari filsafat. Ideologi Pancasila tersusun oleh lima buah sila yang rumusannya pendek padat. Untuk memahami isi kandungan dari tiap sila, kita perlu berwidyawisata ke Filsafat Pancasila. Dengan mengacu pada pengertian filsafat seperti yang telah disebut di muka, kita menjadi tahu bahwa sila-sila dari ideologi Pancasila itu masing-masing adalah jawaban hakiki dari pertanyaan mendasar tertentu. Dengan mengetahui jawaban hakikinya yang berupa sila-sila dari ideologi Pancasila, dan proses penalaran metafisik kita dapat mengindentifikasi pertayaan mendasarnya.
Pandangan filsafat Pancasila mengenai “siapa manusia itu” terkandung di dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. “Adil” itu menunjukkan pada manusia sebagai makluk individu, dan “beradab” menunjukan pada manusia sebagai makhluk sosial. Dalam sila inilah pandangan Pancasila tentang manusia terungkap secara khas dan jelas, yakni : manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, yang di dalamnya terkandung pengakuan adanya relasi saling-tergantung antar manusia.
Kehidupan bersama antar manusia yang saling tergantung itu bisa terselenggara dan bisa lestari terselenggara, hanya apabila antaraksi antar manusia itu bersifat saling-memberi.
Refleksi lanjutan dari antaraksi saling-memberi ialah bahwa tugas hidup manusia adalah apriori memberi kepada lingkungan, termasuk manusia lain. Untuk hidup, tiap fenomena termasuk manusia, dari dalam dirinya sendiri merasa wajib memberi. Tujuan dari memberi ialah demi terpeliharanya eksistensi yang diberi, lebih persis lagi : demi obyek yang diberi, agar ia pada gilirannya selaku subyek mampu memberi sesuatu kepada obyek yang lain lagi. Memberi demi kepentingan diri hakekatnya adalah meminta.
Saling memberi antar banyak subyek menghasilkan suatu seluruhan yang nilainya lebih besar dari pada penjumlahan tiap berian dari tiap subyek. Dengan demikian, memberi sesuatu itu tidak kehilangan sesuatu, karena tiap subyek berkat perbuatannya memberi, dengan sendirinya mendapatkan berian kembali dari seluruhan yang lainnya lebih tinggi dari apa yang ia berikan. Dua atau banyak subyek yang saling-tergantung terpelihara eksistensinya oleh seluruhan yang dibangun sendiri oleh para individu subyek melalui antaraksi saling-memberi.
2.4 Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Masyarakat
Pengertian dasar mengenai masyarakat ialah kebersamaan hidup antar dua sampai banyak manusia. Masyarakat bisa ada hanya apabila antaraksi antar individu warganya saling-memberi. Saling-memberi antar warga menghasilkan kebersamaan hidup. Kebersamaan hidup merupakan kepentingan keseluruhan dari tiap individu warganya. Kepentingan individu warga terpenuhi oleh kepentingan seluruhan masyarakat. Kondisi kebersamaan hidup yang demikian itu dapat di angkat menjadi definisi: masyarakat adalah kebersamaan hidup antar sejumlah orang yang terselenggara melalui antaraksi saling memberi.
Dalam pengertian ini, individu warga memandang masyarakat bukan sebagai lembaga yang secara hirarki berada di atas dirinya. Masyarakat adalah diri individu manusia itu sendiri yang secara alami terkait dengan manusia lainnya, yang melalui interaksi saling memberi membentuk kebersamaan hidup yang dinamai masyarakat. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas bagi masyarakat, individu warga tidak merasakannya sebagai beban atau merasa berkorban. Sebaliknya masyarakat tidak pernah menganggap individu warganya sebagai makhluk yang berada diluar dirinya, melainkan sebagai sumber genetik dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, masyarakat tidak pernah mempunyai kepentingan sendiri yang berhadapan dengan kepentingan individu warganya. Satu-satunya kepentingan adalah kepentingan dari keseluruhan individu warganya. Oleh karena itu, secara alami antara individu warga dan masyarakat tidak pernah terdapat pertentangan kepentingan.
Pancasila Sebagai Ideologi Modern. Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, secara tegas menguraikan bahwa Pancasila telah digali dan didasari oleh evolusi budaya bangsa selama berabad-abad. Kemudian Bung Karno menyusunnya secara ilmiah rasional sehingga terlihat betapa Pancasila mengandung nilai-nilai universal. Itulah sebabnya mengapa Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi modern. Suatu ideologi dikatakan modern bila mengandung nilai-nilai universal dan dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat dalam demensi waktu yang berbeda. Berbeda dengan Pancasila, nilai-nilai yang terdapat pada komunisme tidak universal dan lebih bersifat konfrontatif dengan mempertentangkan kelas di dalam masyarakat dan lebih menguntungkan kelas tertentu dalam masyarakat itu.
Ideologi Pancasila itu, meskipun secara historik berkategori ideologi partikuler, yaitu sebagai dasar dari negara Indonesia merdeka, muatan moral dan cita-citanya adalah universal.
Ideologi Pancasila itu, meskipun muatan moral dan cita-citanya bersifat universal, sifat hakikat universalnya justeru memposisikan Negara Indonesia Merdeka sebagai salah satu dari pluralitas alami di antara semua negara merdeka lainnya di dunia. Tiap bangsa yang memproklamasikan berdirinya negara barunya, membutuhkan pengakuan dari negara lain. Pengakuan tiap negara terhadap kemerdekaan negara lain, selain bersifat sebagai pengakuan politik, juga mengandung pengakuan bahwa negara lain itu berkualifikasi positif terhadap eksistensi dirinya, atau terpaksa mengakui sebagai kebijakan politik demi memperkecil dampak negatif terhadap eksistensi dirinya. Pengakuan negara yang satu terhadap kemerdekaan negara yang lain, atas pertimbangan yang manapun dari dua pertimbangan termaksud, berpasangan dengan kebutuhan negara baru akan pengakuan dari negara lain, menunjukan adanya relasi saling-tergantungan antarnegara.
Ideologi Pancasila secara ontologik mengakui realitas alami tentang saling-ketergantungan antar pluralitas. Berdasarkan itu, dalam dimensi antar bangsa in casu antar negara, moral dan cita-cita universal yang terkandung di dalam ideologi Pancasila mengungkapkan diri sebagai fungsi-negara keempat dari Republik Indonesia ”ikut menegakkan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Faham Ketertiban Dunia ini menurut penggagasnya Ir. Sukarno, pada waktu memaparkan filosofische grondstag yang ia usulkan untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia Merdeka, ia lukiskan sebagai berikut ini : ”Nasionalisme bisa hidup hanya apabila ia berada dalam tamansarinya internasionalisme, dan Internasionalisme bisa hidup hanya apabila ia berakar dalam buminya nasionalisme.
Peryataan Ir. Sukarno tersebut merupakan peryataan pengakuan saling-ketergantungan eksistensi antar nasionalisme dan internasionalisme, dalam rangka Ir. Sukarno mencegah jangan sampai bangsa (nasionalisme) Indonesia dalam menyelenggarakan negara Indonesia Merdeka bersikap chauvinis seperti nasionalismenya bangsa Jerman dengan sasantinya ’Deutschland uber alles’.
Dengan ungkapan lain peryataan tersebut merupakan peryataan pengakuan saling-tergantungan antarbangsa dan antarnegara jawaban satu-satunya terhadap kondisi alami ini adalah kerja sama saling-memberi sesuatu sesuai kemampuan tiap bangsa demi terwujudnya Ketertiban Dunia, yang satu pihak mengakui pluralitas yang berwujud kemerdekaan tiap bangsa dalam wujud negara-bangsa (nation state), di lain pihak karena antarbangsa secara alami saling-tergantung interaksinya yang niscaya dan memadai demi terpeliharanya eksistensi tiap bangsa yang bersangkutan, adalah saling memberi yang diproyeksikan untuk menghasilkan keadilan sosial antarbangsa, dan demikian perdamaian antarbangsa terjaga berlangsungnya, perdamaian antarbangsa itu benar-benar abadi.
Sesungguhnya konsep demokrasi dan HAM telah tertanam lama dalam kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila mengambarkan betapa nilai-nilai universal telah terakomodasi di dalamnya yang meliputi kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mupakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan. Rumusan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945 memberikan sifat yang khas pada negara Indonesia. Bahwa Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, tetapi juga bukan negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dalam negara Pancasila, agama dan nasionalisme hidup dan berkembang di dukung oleh negara. Negara Pancasila menyatukan beragama kelompok yang bertentangan.
Dalam negara Pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Prinsif yang perlu dikembangkan adalah peduli, tetapi tidak diskriminatif, bukan dalam artian tidak peduli sama sekali.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, pada intinya menegaskan persamaan hak dan kewajiban setiap orang secara gamplang mengandung penjelasan konsep HAM yang digembor-gemborkan dunia Barat. Sementara sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, secara tegas menjelaskan konsep demokrasi. Tetapi, demokrasi yang dimaksud di sini adalah demokrasi Pancasila yang berlandaskan musyawarah dan mufakat, bukan ala Barat yang menekankan keunggulan mayoritas atas minoritas. Sila keempat menjabarkan bahwa demokrasi Pancasila bukan berlandaskan kerakyatan dengan mencari suara terbanyak saja. Asas kerakyatan berhubungan erat dengan konsep HAM tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran seperti yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28. Di samping itu, asas kerakyatan juga berhubungan dengan persamaan kedudukan sosial, ekonomi, dan budaya di antara warga negara.

2.5 Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik anak-anaknya, begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.

Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban. Butir kedua dan ketiga tersebut memberikan pengerian bahwa pandidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi umat manusia.
Landasan Pendidikan marupakan salah satu kajian yang dikembangkan dalam berkaitannya dengan dunia pendidikan. Adapun cakupan landasan pendidikan adalah : landasan hukum, landasan filsafat, landasan sejarah, landasan sosial budaya, landasan psikologi, dan landasan ekonomi. Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum. sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Jadi berfikir filsafat dalam pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan. Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu.
Misalnya:
·         Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan dan/atau ilmu?
·         Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu?
Kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai falsafah Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang menegaskan bahwa pembangunan nasioanal termasuk dibidang pendidikan adalah pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia,dan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta mauara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan dengan kata lain : Pancasila sebagai sumber system nilai dalam pendidikan.
P4 Atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan pancasila dalam kehidupan sehari-hari,termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila ituharuslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia,Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Belum ada upaya mengopersionalkan Pancasila agar mudah diterapkan dalam kegiatan –kegiatan di masyarakat,termasuk penerapanya dalam dunia pendidikan Kalaupun ada bidang studi menyangkut moral Pancasila, sebagan besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-bidang studi lain. Pendidik mengajarkannya,peserta didik berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan pendidik dalam ujian-ujian.
Sementara itu dunia pendidikan di Indonesia belum punya konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian dan cara –cara mencapai tujuan pendidikan.Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia.
Teori-teori biasa didapat dengan cara belajar diluar negeri, atau dengan cara melakukan studi banding. Dan yang paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari Negara lain. Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyususn sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini. Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-penataran pendidikan juga bersumber dari buku-buku. Dengan demikian dapat diibaratkan membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan seperti menerpa patung dengan cetakan luar negeri.hasilnya tentu tidak présis seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia.





2.6 Hubungan Filsafat Pancasila dengan Manusia,Masyarakat dan Pendidikan
            Meskipun sering ada anggapan bahwa Pancasila tidak mampu menyelesaikan atau membuat suatu aturan yang betul-betul mengikat kepada penganutnya (rakyat Indonesia). Pancasila sesungguhnya hanya mampu menuliskan peraturan yang baik, namun tidak punya ruh atau power untuk mengikat penganutnya sehingga dapat melakukan segala tindakan sesuai dengan apa yang tercantum dalam pancasila. Dengan kata lain,“pancasila adalah ideologi yang dipaksakan”.Penganutnya tidak memiliki landasan dan alasan yang kuatmengapa mereka harus menaati aturan yang terlahir dari pancasila,meskipun peraturan yang terlahir sebenarnya searah dengan perjuangan menyejetahterahkan rakyat (dengan amandemen 4x hingga tahun 2002).Hal ini terbukti dengan banyaknya korupsi untuk aliran dana BOS dan pendidikan lainnya. Dan, ini dibuat oleh pemerintah sendiri. Kesalahan pendidikan terletak pada sistem atau mekanismenya yang menganut sistem kapitalisme. Pendidikan Indonesia dibumbui dengan kecurangan/nepotisme, dan uang. Penyebab yang paling berpengaruh pada anak yang putus sekolah adalah karena ketidakmampuan mereka dalam hal finansial. Padahal uu telah menjamin bahwa pendidikan dan pekerjaan adalah hak setiap warga negaranya. Ini menunjukkan bahwa antara aturan yang tertulis dan fakta yang ada sungguh berlawanan.
            Namun dengan berbagai anggapan diatas jika melihat dari sisi lain maka akan ditemukan adanya hubungan yang cukup kuat antara manusia yang merupakan makhluk yang unik. Manusia memiliki berbagai dimensi dasar, baik secara pribadi, jiwa, kelompok, dll. Semua itu bercampur aduk menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau tidak, manusia telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maximal atau tidak, dengan baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Kaitanya dengan hal tersebut, dengan akal manusia yang bisa dikatakan jenius, manusia dapat menemukan jalan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik. Yaitu dengan pendidikan. Manusia mulai sadar akan arti penting pendidikan bagi kehidupan mereka.
Dalam sub bab ini, penulis mencoba mencari keterkaitan antara pendidikan dengan manusia. Atau, apakah arti penting pemahaman tentang hakekat manusia tadi terhadap proses pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar, terencana, sistematis dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi-potensi bawaan manusia, memberi sifat dan kecakapan, sesuai dengan tujuan  pendidikan.
Pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk mencapai suatu tujuan.Melihat pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan pendidikan dengan manusia itu sangat erat. Adanya pendidikan untuk mengembangkan potensi manusia, menuju manusia yang lebih baik.
Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, berbicara tentang kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan.Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.
Manusia merupakan subyek pendidikan, tetapi juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri. Pendidikan tanpa ilmu jiwa, sama dengan praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti manusia, berarti membina sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa manusia dididik. Tanpa mengerti atas manusia, baik sifat-sifat individualitasnya yang unik, maupun potensi-potensi yang justru akan dibina, pendidikan akan salah arah. Bahkan tanpa pengertian yang baik, pendidikan akan memperkosa kodrat manusia.
Esensia kepribadian manusia, yang tersimpul dalam aspek-aspek: individualitas, sosialitas dan moralitas hanya mungkin menjadi relita (tingkah laku, sikap) melalui pendidikan yang diarahkan kepada masing-masing esensia itu. Harga diri, kepercayaan pada diri sendiri (self-respect, self-reliance, self confidence) rasa tanggung jawab, dan sebagainya juga akan tumbuh dalam kepribadian manusia melalui proses pendidikan.
Jadi, hubungan antara filsafat, pendidikan dan manusia secara singkat adalah filsafat digunakan untuk mencari hakekat manusia, sehingga diketahui apa saja yang ada dalam diri manusia. Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan dijadikannya (potensi) nyata berdasarkan esensi keberadaan manusia.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai filsafat Negara maka patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang.Pancasila harus dipahami dengan menggunakan penalaran rasional akal budi manusia. Pancasila juga harus dipahami dengan pendekatan kritis, yakni tidak mudah percaya dengan klaim-klaim luhur ataupun praktek-praktek naif yang mengatas namakan Pancasila. Tafsiran atas nilai-nilai Pancasila pun harus runut dan taat asas, sesuai dengan maksud dan tujuan adanya Pancasila itu sendiri. Seperti segala sesuatu di bawah langit, Pancasila, dan tafsiran atasnya, pun juga harus kontekstual, yakni sesuai dengan perkembangan jaman. Maka, nilai fleksibilitas, dalam tegangan dengan keteguhan prinsip-prinsip dasar harus digunakan.

           


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS