ORGANISASI NONLABA NONPEMERINTAHAN
Organisasi nirlaba adalah merupakan bagian dari organisasi non
komersial (sektor publik). Organisasi ini biasanya didirikan oleh masyarakat,
baik dalam bentuk yayasan, organisasi non-profit (Lembaga Swadaya Masyarakat), partai
politik, maupun organisasi keagamaan. Secara operasional organisasi ini tidak
mencari laba dan tidak diselenggarakan oleh pemerintah. Pengelolanya adalah
orang-orang yang dipercaya oleh masyarakat, dan pemiliknya adalah masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka karakteristik dari organisasi
nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Suatu entitas nirlaba (1) menerima
kontribusi sumber daya dalamjumlah yang signifikan dari pemberi sumber daya
yang tidak mengharapkan imbalan yang setimpal, (2) dijalankan dengan tujuan
selain untuk menyediakan barang danjasa untuk memperoleh laba, dan (3) tidak
memiliki bagian kepemilikan seperti halnya dalam perusahaan bisnis biasa.
Identifikasi ini perlu untuk kita lakukan, karena pada kenyataanya organisasi sektor publik
(terutama organisasi nirlaba) juga bisa menawarkan produk/jasa yang berbeda
dengan organisasi bisnis.
- Standar Akuntansi yang Berlaku untuk Organisasi Nirlaba
Organisasi nirlaba menggunakan basis akuntansi akrual untuk mengakui
pendapatan dan bebannya.
Aktiva bersih dikelompokkan dalam 3 kategori yang masing-masing
tergantung pada ada tidaknya pembatasan:
·
Aktiva bersih terikat permanen adalah
bagian dari aktiva bersih yang penggunaannya dibatasi oleh donatur
(donor-imposed stipulation) yang tidak memiliki pembatasan waktu dan tidak
dapat dipindahkan oleh organisasi.
· Aktiva bersih
terikat temporer adalah bagian dari aktiva
bersih yang penggunaanya dibatasi oleh donatur (donor-imposed stipulation) yang
memiliki pembatasan waktu atau dapat dipindahkan oleh organisasi dengan
melakukan stipulation (pembatasan penggunaan).
·
Aktiva bersih tidak terikat adalah
bagian dari aktiva bersih yang tidak dibatasi penggunaanya oleh donatur
Dengan
demikian aktiva bersih organisasi, pendapatan, beban, keuntungan, dan kerugian
dikelompokkan menurut ketiga jenis aktiva bersih. Pembagian aktiva bersih dalam
tiga kategori tersebut merupakan bentuk penyajian paling utama untuk organisasi
nirlaba.
- Prinsip-prinsip pengukuran
Organisasi nirlaba mengukur kontribusi pada nilai wajar. Nilai wajar
yang terbaik adalah harga pasar untuk aktiva non moneter maupun non-moneter.
Metode penilaian lain yang bisa digunakan mencakup harga pasar yang dikutip
untukaktiva yang sejenis atau penialain independen.Jika tidak dapat ditentukan,
maka kontribusi tidak boleh diakui.
- Pencatatan Akuntansi pada Organisasi Nirlaba
Pada
dasarnya, praktek akuntansi untuk organisasi nirlaba tidak jauh berbeda dengan
organisasi bisnis. Hal ini terlihat jelas bahwa aturan akuntansi organisasi
nirlaba diatur sebagai bagian dari PSAK no. 45: Pelaporan Keuangan Organisasi
Nirlaba. Jadi, lebih tepatnya yang diatur adalah pelaporannya, teknis
akuntansinya diatur secara mandiri diserahkan kepada entitas masing-masing.
Dengan bentuk pelaporan yang sudah diatur dalam PSAK 45, secara tidak langsung
pencatatan transaksi akan dibuat oleh entitas mengikuti format laporan yang
telah ada.
Prinsipnya,
pencatatan transaksi organisasi nirlaba dari penerimaan kas, pengeluaran kas,
pembelian, penjualan produk/jasa, penyusutan dan transkasksi reguler lainnya
tidak ada perbedaan dengan organisasi bisnis, namun yang membuat berbeda adalah
organisasi nirlaba tidak ada pihak yang menjadi pemilik, sehingga tidak ada
transaksi yang berhubungan dengan perubahan kepemilikan, atau tidak adanya
alokasi dana/sumber daya hasil likuidasi ke orang-orang tertentu.
Organisasi
nirlaba menghasilkan produk/jasa tidak untuk bertujuan mencari laba dan
seandainya entitas tersebut menghasilkan laba, tidak akan pernah ada transaksi
yang berhubungan dengan pembagian laba kepada pendiri atau pihak-pihak yang
mengklaim sebagai pemilik.
Secara teknis pencatatan organisasi
nirlaba bisa dilakukan dengan cash basis, accrual basis, maupun modified
accrual basis. Berikut ini akan disajikan beberapa contoh transaksi yang
terjadi di organisasi nirlaba.
II. MANAJEMEN SEKOLAH
Meskipun sekolah bukan organisasi bisnis namun sekolah perlu
memiliki laporan keuangan. Manfaat umum laporan keuangan bagi sekolah adalah :
- Memastikan keberlangsungan sekolah di masa depan
- Mengukur kinerja pengelola sekolah
Laporan keuangan yang saat ini umum disusun oleh sekolah,
yaitu laporan realisasi anggaran tidaklah cukup. Laporan realisasi anggaran
tidak mencerminkan semua kekayaan dan kewajiban yang dimiliki oleh sekolah.
Contohnya adalah realisasi anggaran tidak memberikan informasi yang cukup
tentang jumlah dan nilai inventaris, nilai tunggakan SPP siswa ataupun
kewajiban-kewajiban jangka pendek ke pihak ketiga. Laporan realisasi anggaran
juga tidak memberikan gambaran yang memadai untuk hibah atau sumbangan multi
tahun. Apabila ada sisa hibah yang sebenarnya adalah alokasi untuk tahun
mendatang bagaimana kita menempatkan di dalam laporan realisasi anggaran? Belum
lagi kesulitan pengelola keungan untuk membuat laporan realisasi anggaran
sekaligus laporan LPJ dari proyek. Apakah LPJ Proyek perlu di masukkan dalam
laporan realisasi anggaran umum atau dilaporkan terpisah?
Masalah-masalah tersebut coba dipecahkan dengan menyusun
laporan keuangan yang komprehensif. Beberapa sekolah telah mencoba menyusun
laporan keuangan, namun sayangnya mereka menyusun laporan keuangan tersebut
dengan mengacu pada organisasi bisnis, sehingga berisi Neraca, Laba Rugi dan
Arus Kas. Ada perbedaan mendasar antara organisasi bisnis dan nirlaba.
Organisasi Nirlaba memiliki kharakteristik yang berbeda dengan organisasi
bisnis yaitu:
- Sumber daya entitas nirlaba berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan.
- Menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan jika entitas nirlaba menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas nirlaba tersebut.
- Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada entitas bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam entitas
- nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas nirlaba pada saat likuidasi atau pembubaran entitas nirlaba.
Sehingga
sekolah sebagai organisasi nirlaba memerlukan Standar AKuntansi khusus. Ikatan
Akuntan Indonesia telah menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi No 45 sebagai
pedoman penyusunan laporan keuangan, termasuk berlaku juga untuk sekolah.
II. MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI
Meskipun banyak keberhasilan yang telah dicapai dalam
membuka akses yang lebih luas ke pendidikan tinggi, upaya untuk mengembangkan
satu sistem nasional pendidikan tinggi telah menimbulkan akibat-akibat yang
negatif. Secara perlahan-lahan namun pasti, kecenderungan tentang terjadinya
sentralisasi yang berlebihan pada pemerintah pusat telah dirasakan pada hampir
semua aspek manajemen pendidikan tinggi. Beberapa prakarsa yang mengarah pada
reformasi manajemen pendidikan tinggi di masa lalu terhenti di tengah jalan
karena tidak dicapainya kesepakatan tentang dari titik mana langkah itu harus
dimulai. Dalam banyak kasus, adanya ketidakpercayaan timbal balik antara
otoritas pusat di satu pihak dengan pihak perguruan tinggi di pihak lain
menjadi kendala yang utama.
Perguruan tinggi negeri berada di bawah naungan Depdiknas dan mereka harus tunduk pada peraturan-peraturan yang berlaku seragam untuk semua lembaga atau instansi pemerintah. Perlakuan seperti ini telah menimbulkan banyak pengaruh yang negatif terhadap kehidupan perguruan tinggi.
Perguruan tinggi negeri berada di bawah naungan Depdiknas dan mereka harus tunduk pada peraturan-peraturan yang berlaku seragam untuk semua lembaga atau instansi pemerintah. Perlakuan seperti ini telah menimbulkan banyak pengaruh yang negatif terhadap kehidupan perguruan tinggi.
Perguruan tinggi yang berstatus BHMN merupakan organisasi
nirlaba, karena keuntungan yang diperolehnya harus diinvestasikan kembali untuk
mendukung kegiatan pendidikan dan penelitian. Organisasi nirlaba atau
organisasi sosial adalah organisasi yang didirikan bukan terutama untuk mencari
keuntungan bagi pendirinya. Sebagai organisasi nirlaba, perguruan tinggi
memperoleh berbagai kemudahan, misalnya bebas pajak dan menjadi sasaran bantuan
dari para dermawan. Karena itu, upaya perguruan tinggi untuk meningkatkan
kemandirian finansialnya tidak boleh menjadikan institusi ini sebagai suatu
lembaga komersial yang tujuan utamanya mencari keuntungan. Kemandirian
finansial dapat dicapai melalui diversifikasi sumber-sumber pendapatannya.
Untuk perguruan tinggi negeri, kemandirian finansial berarti bahwa perguruan
tinggi harus dapat memanfaatkan potensinya untuk menghimpun pendapatan dari
sumber-sumber nonpemerintah. Dipihak lain, untuk perguruan tinggi swasta,
kemandirian finansial berarti mengurangi ketergantungannya yang berlebihan
kepada uang SPP dari mahasiswa, dengan cara mengusahakan dana dari sumber-sumber
lain.
Organisasi nirlaba memerlukan manajemen karena didalamnya
ada sejumlah sumber daya yang harus digunakan untuk mencapai tujuannya melalui
proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Perguruan
tinggi yang berstatus BHMN yang merupakan organisasi nirlaba menghadapi pula
keterbatasan sumber daya, memerlukan marketing, seringkali menghadapi
persaingan, memerlukan efisiensi dan efektivitas kerja, dan sebagainya seperti
perusahaan biasa. Organisasi nirlaba seringkali dihadapkan pada kenaikan biaya
terus-menerus, penerimaan sumbangan dan donasi yang relatif makin mengecil, dan
kompetisi organisasi perusahaan yang masuk bidang sosial. Oleh karena itu,
mereka seringkali terpaksa mencari pemecahan dengan melakukan usaha lain yang
mendatangkan pendapatan untuk menunjang kegiatan utamanya, yaitu kegiatan
sosial.
Selanjutnya, suatu organisasi sosial sering harus mengelola
beberapa kegiatan usaha yang mendatangkan keuntungan. Maka, organisasi
membutuhkan manajemen untuk usaha yang mendatangkan keuntungan dan manajemen
untuk usaha sosial. Mereka memerlukan keterampilan manajemen untuk mencegah
jangan sampai usaha bisnis yang mendatangkan keuntungan justru menenggelamkan
usaha sosial utamanya.
- Perguruan tinggi dapat meningkatkan kapasitas manajemen dan perencanaan dengan cara mengembangkan suatu sistem informasi yang terandal;
- melakukan
serangkaian latihan manajemen bagi para stafnya;
mengembangkan kemampuan kewirausahaan dan sadar-biaya; - mengembangkan
mekanisme pendanaan internal yang berbasis-kinerja;
menghitung dan mengembangkan suatu biaya satuan (unit cost) yang acceptable untuk setiap program studi, termasuk identifikasi dan kalkulasi tentang pendapatan dari sumber-sumber lainnya; - mengembangkan suatu sistem insentif untuk mendorong kolaborasi antarfakultas, antarjurusan, dan antarpusat, dan antarunit pelaksana teknis dalam bentuk joint degree program, penelitian yang ditangani bersama (joint research), pemanfaatan bersama sumber daya dan keahlian yang dimiliki (resource and expertise sharing), dan memberikan fleksibilitas yang lebih luas kepada para mahasiswa untuk bergerak antarunit maupun lintas program studi;
- mengembangkan
manajemen personalia berdasarkan prestasi, termasuk menerapkan sistem
insentif dan disinsentif.
Peningkatan kapasitas manajemen dan perencanaan dengan cara-cara yang telah disebutkan harus dilaksanakan secara profesional karena pendidikan tinggi sebagai suatu industri pengembangan sumber daya manusia memerlukan pengelolaan yang handal untuk mencapai tujuannya. Ketiadaan tenaga-tenaga manajer pendidikan profesional mengharuskan kita mengadakan terobosan-terobosan untuk membawa pendidikan tinggi itu sejalan dengan langkah-langkah pendidikan yang semakin cepat.
Read Users' Comments (0)